Google

Tuesday, November 20, 2007

Ambon Berdarah On-Line

Indonesia sebagai Medan Jihad

Oleh Neni Utami Adiningsih

Hari - hari ini suasananya identik dengan suasana di awal September 2001 lalu, yang penuh dengan ketegangan, ketidakpastian, silang pendapat dan saling dukung. Ketika itu dengan dalih mencari Osama bin Laden yang dituduh sebagai aktor intelektual peristiwa hancurnya World Trade Center dan Pentagon (New York, Amerika Serikat), 11/9/2001, kemudian Amerika Serikat melakukan agresi terhadap Afghanistan (7/10/01).

Peristiwa tersebut kian mencuatkan istilah jihad. Dengan deraian air mata diserukan untuk berjihad bagi Muslim di Afghanistan. Saat inipun demikian juga. Dengan dalih akan menghancurkan persenjataan pemusnah massal, Amerika bersiap menyerang Irak. Akibatnya berbagai partai, lembaga, organisasi, kelompok yang umumnya berlatar belakang Islam ramai berkumpul, berdemonstrasi, berorasi untuk menolak rencana tersebut. Tak ketinggalan ajakan berjihad apabila Amerika benar - benar menyerang Irak.

Tentu saja solidaritas untuk mencegah terjadinya perang adalah sebuah tindakan yang sangat terpuji. Hanya saja perlu dipertanyakan, benarkah ini merupakan tindakan solidaritas yang murni, terlebih lagi konsisten?

Konsistensi

Hal ini penting untuk dipertanyakan mengingat masih banyaknya tindakan yang tidak konsisten. Dengan dalih solidaritas terhadap sesama Muslim (merasa ikut sakit bila Muslim lain disakiti) maka ajakan jihad tersebut ditanggapi secara intens. Bahkan ada pernyataan bahwa 'dengan menyerang Irak berarti Amerika telah menyatakan perang terhadap umat Islam seluruh dunia'.

Di sisi lain, ketika ramai-ramai menyerukan jihad guna 'menolong' saudaranya Muslim di Irak, sangat banyak yang tidak sadar bahwa pada saat bersamaan banyak perilaku mereka yang justru berpeluang untuk 'menyakiti' Muslim di Indonesia, yang notabene adalah saudara terdekat. Lewat sampah misalnya. Kok bisa? Bukankah di setiap acara 'kumpul - kumpul' selalu meninggalkan sampah berserakan? Hal ini seringkali dianggap sepele, padahal dampaknya sangat besar. Bukankah ini akan semakin memicu terjadinya banjir? Belum lagi dampak kemacetan bahkan aksi anarki yang mungkin terjadi (ingat, masalah agama sangatlah sensitif).

Ada kekhawatiran bahwa tindakan tersebut hanya dilandasi oleh desakan emosional semata. Karena kalau memang alasannya solidaritas sesama Muslim, mengapa mereka tidak menangis, tidak mengutuk, tidak berdemonstrasi serta tidak mengangkat bendera jihad untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, pembajakan HAKI, korupsi, pornografi, narkoba, HIV/ AIDS, perusakan hutan, dan pencemaran lingkungan. Bukankah itu semua adalah musuh nyata yang siap menyerang umat Muslim di Indonesia? Bukankah semua itu mendatangkan bencana yang membuat umat Muslim Indonesia menderita? Bukankah mereka menjadi kehilangan harta, intelektual, moral bahkan jiwanya?

Musuh Indonesia

Berikut ini beberapa musuh nyata Indonesia. Musuh yang selayaknya diperangi. Musuh pertama, kebodohan. Kondisi pendidikan di Indonesia sangat parah. Hanya 29% dari gedung SD yang dalam kondisi baik. Kondisi identik terjadi di jenjang yang lebih tinggi (W. Djojonegoro, 2000). Apalagi instrumen pendukung pendidikan (perpustakaan, laboratorium, komputer) juga sangat terbatas. Akibatnya, selain semakin banyak anak yang tidak bisa sekolah (6,6 juta anak, 2000), kualitasnya pun rendah.

Kedua, kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), setidaknya 1 dari 4 penduduk Indonesia termasuk miskin. Kemiskinan inilah yang memaksa sebagian warga Indonesia mengadu nasib di luar negeri, termasuk secara ilegal. Selain itu juga memaksa 6,5 juta anak menjadi pekerja. 50.000-100.000 di antaranya menjadi anak jalanan, 140.000-200.000 anak menjadi pekerja seks komersial. Kemiskinan juga menyebabkan 7,2 juta siswa SD/ SLTP terancam putus sekolah. Menyebabkan 10-12 juta balita menjadi kekurangan gizi. Dan menyebabkan 7 dari 10 siswa SD mengalami anemia.

Ketiga, narkotika dan obat berbahaya (narkoba). Saat ini diperkirakan ada 6,5 juta penduduk Indonesia yang menjadi pecandu narkoba, 90% adalah generasi muda. Dengan omzet yang sangat luar biasa besarnya. Pada tahun 1999 saja sudah mencapai Rp 1,2 triliun (Kompas, 26/7/ 1999). Merebaknya narkoba ini perlu diwaspadai, sebab juga menjadi salah satu pemicu merebaknya HIV/AIDS. Data di Subdit AIDS/PMS Ditjen P2M & PLP Departemen Kesehatan memperlihatkan bahwa hingga September 2002 telah ada 3.374 kasus (diperkirakan jumlah sebenarnya 100 kali lipat dari data).

Musuh keempat, kebobrokan moral. Saat ini, yang namanya perjudian, prostitusi, pornografi, seks bebas, sexual abuse kian merajalela dan terang-terangan. Dunia tontonan pun semakin 'buka - bukaan' dan vulgar. Simak 'goyang Inul' yang begitu heboh.

Sedihnya, aneka bentuk kebobrokan moral tersebut juga menyebabkan anak- anak menjadi korban. Penelitian di Semarang memperlihatkan bahwa 80% dari korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah anak usia balita hingga 18 tahun. Dari jumlah itu, 65% di antaranya kasus incest (sexual abuse yang dilakukan oleh keluarga sendiri). Ironinya, anak - anak pun semakin banyak yang menjadi pelaku tindak asusila.

Kelima, kriminalitas. Kian hari kian marak saja. Bahkan kini tidak hanya merampok harta, tetapi juga merampok kekayaan intelektual dalam bentuk pembajakan. Setidaknya 15 juta keping VCD (90%) yang beredar di Indonesia adalah produk bajakan. Sebagian besar berupa video porno. Setidaknya setiap tahun ada 336 juta buah kaset bajakan. Setidaknya 93% dari perangkat lunak produksi para produsen yang bergabung dalam Business Software Alliance (BSA) telah dibajak, dengan nilai sekitar 193 juta dolar AS. Belum lagi pembajakan buku dalam bentuk reproduksi buku lokal secara tidak sah, menerjemahkan tanpa hak menggandakan, melakukan kompilasi, memotokopi.

Keenam, korupsi. Hasil survei The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (2002), memperlihatkan bahwa tingkat korupsi dan kroniisme di Indonesia paling tinggi di Asia (peringkat 3 di dunia). Sehingga tidaklah aneh bila Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ribuan kasus penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Ironinya penyimpangan terbesar justru terjadi di Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama yang notabene adalah 'polisi' moral. Belum lagi dari sisi pungli. Hampir di setiap sudut kehidupan bernegara dan bermasyarakat, diikuti dengan 'aktivitas' pungli. Pendeknya, dari lahir sampai meninggal, penduduk Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari pungli.

Ketujuh, kehancuran lingkungan. Hutan kita sudah hancur.

Selain didera kebakaran (setidaknya 5 juta ha/ tahun) juga diperparah oleh penebangan liar (minimal 3,6 juta ha/tahun). Bila hal ini terus terjadi, seluruh hutan di Sumatera akan hilang pada tahun 2005-2010, sedangkan yang di Kalimantan pada tahun 2010-2015. Di Jawa Baratpun, diperkirakan hutannya sudah akan habis pada tahun 2004 atau 2005 nanti (Kompas, 8/1/03). Dengan kondisi lingkungan yang sedemikian memprihatin- kan maka tidaklah aneh bila kini Indonesia didera oleh aneka bencana (tanah longsor, banjir bandang, kekurangan air bersih) serta aneka penyakit.

Kedelapan, lemahnya hukum. Sedihnya semua musuh di atas dihadapi oleh lemahnya penerapan hukum di negeri ini. Sangat banyak aturan yang tidak dijalankan dengan benar. Akhirnya semua orang bisa berlaku seenaknya saja. Semua orang mengajukan kebenarannya masing - masing.

Aneka 'musuh' di atas, yang bersumber dari tak terkendalinya hawa nafsu, sangatlah layak untuk diperangi.

'Gajah di seberang lautan tampak, kuman di pelupuk mata tidak tampak'. Kiranya pepatah ini tepat diterapkan guna mencermati fenomena jihad di negeri ini. Memang bukan suatu hal yang salah bila kita menolak serangan Amerika atas Irak. Juga bukanlah hal yang salah bila ada Muslim Indonesia yang ingin berjihad ke Irak. Dan tindakan agresi Amerika itu juga bukan tindakan yang benar. Namun tidakkah kaum Muslim Indonesia sadar bahwa sesungguhnya di negeri sendiri ini sesak akan musuh (lihat ulasan sebelumnya) yang juga layak untuk diperangi? Bahkan para musuh tersebut tidak kalah terorganisasinya, bak para teroris. Sehingga mereka kian merajalela, bagai gurita raksasa.

Selama ini, ajakan jihad lebih sering diidentikkan dengan ajakan berperang. Memang jihad dimaknai sebagai al-qital (berperang). Namun hendaknya dipahami bahwa arti 'jihad' itu sangatlah luas, tidak terbatas hanya pada adu fisik (perang). Bahkan seusai memenangkan Perang Badar, Rasulullah mengatakan bahwa jihad yang terberat adalah jihad memerangi hawa nafsu yang buruk. Pertanyaannya, mengapa Muslim Indonesia tidak mengangkat bendera jihad untuk memeranginya?

Mengapa umat Muslim tidak juga berjihad untuk memerangi kerakusan masyarakat yang menebang pohon sembarangan saja, yang mengorupsi uang negara, yang seenaknya saja mengutip pungli? Mengapa tidak berjihad untuk memerangi gejolak nafsu setan yang membuat kriminalitas dan kasus HIV/ AIDS meningkat, yang membuat narkoba, pornografi, prostitusi, seks bebas, sexual abuse menjadi kian terang - terangan?

Mengapa umat Muslim tidak berjihad untuk membangunkan otak masyarakat kita yang selama ini tidur, yang malas membaca, yang lebih senang mencuri hasil kerja intelektual orang lain? Mengapa umat Muslim tidak berjihad untuk memerangi buruknya etos kerja dan disiplin masyarakat kita (buktinya seenaknya saja membuang limbah dan sampah)? Mengapa umat Muslim tidak berjihad untuk memerangi kesombongan, yang membuat hukum menjadi mandul? Mengapa...? Mengapa ... ?

Sebaiknya kita mulai belajar konsisten. Jangan sampai hanya sibuk mengutuk orang lain dan sibuk memeranginya, namun tanpa sadar (atau sadar?) berlaku sebagai musuh (atau menjadi 'kaki tangan' musuh) yang justru merugikan bahkan membunuh orang (termasuk Muslim) lain. Jangan sampai kita terpaku untuk berjihad di negara lain, sementara Indonesia sendiri sesungguhnya merupakan medan jihad yang sangat besar, sulit bahkan mematikan.

Penulis adalah pengelola (ibu) rumah tangga, pengamat masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Bandung.

No comments:


Free shoutbox @ ShoutMix
 
Google