Google

Tuesday, November 20, 2007

Sejarah Indonesia dan Dunia

Sejarah Perkembangan Kota Gudeg

Buku "Sejarah Perkembangan Kota Yogyakarta, 1880-1930" (Yayasan Untuk Indonesia, 2000) ini merupakan studi yang mempelajari proses penyesuaian beberapa kelompok penduduk kerajaan dalam semasa kolonisasi Belanda. Dalam proses itu, terjadi kontak kultural antara kekuatan tradisional dengan kolonial. Dalam pengertian sederhana, berarti telah terjadi sebuah dinamika sejarah dan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Yogya.

Buku karangan Abdurrachman Surjomihardjo ini menitikberatkan uraiannya pada perkembanagan tiga lembaga sosial: pendidikan, gerakan politik lokal, dan pers. Di dalamnya pembaca akan menemui peran golongan bangsawan, golongan mason, dan berbagai golongan agama yang sama-sama memikirkan dan merespon perubahan-perubahan yang terjadi di kota tersebut.

Abdurrachman menemukan bahwa kelompok masonlah yang mula-mula menjadi pusat berkumpulnya berbagai golongan penduduk di kota Yogya. Gerakan kemasonan (freemasonry) adalah aliran pembebasan pikiran yang menerima sesama manusia dalam kedudukan dan kesempatan yang sama, tanpa pembedaan bangsa, warna kulit, dan agama. Tujuannya adalah untuk "ikut serta secara aktif dalam proses perkembangan suatu negara dan bangsa secara serasi" (hal. 42).

Hal ini terjadi bukan saja karena mereka giat dalam usaha dagang tetapi juga karena mobilitasnya kemudian memberi kemungkinan meneriman pikiran dan penemuan baru. Hal terahir inilah yang menjadi syarat perubahan masyarakat dari tardisional menuju ke kemodernan. (One)

Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVII-Medio Abad XX)
Prof. Dr. Djoko Soekiman
Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Januari 2000

Kebudayaan Indis
Budaya Hibrid di Jawa Tempo Dulu

Oleh Kurniawan

detikcom Kamis, 08/06/2000

Buku ini memaparkan tentang gaya hidup suatu masyarakat yang disebut Indis pada abad XVIII sampai pertengahan abad XX di tanah Jawa. Djoko Soekiman beruntung diberi kesempatan membuka-buka berbagai arsip sejarah di masa itu dan menemukan suatu proses akulturasi budaya Belanda terhadap budaya setempat yang tumbuh subur di alam tropis Jawa.

Dalam buku yang berasal dari disertasi doktoralnya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Soekiman memetakan sedikitnya tiga macam bentuk manifestasi dari budaya Indis ini, yakni sistem budaya (cultural system), aktivitasnya, dan dalam bentuk benda-benda (artefacts).

Dengan mengamati detil-detil gaya hidupnya, seperti cara mereka berbahasa, berpakaian, ragam perangkat rumah tangga, gaya rumah, dan juga benda-benda yang berhubungan dengan kegiatan ritual keagamaan, Soekiman berupaya membuktikan keberadaan budaya hibrid itu. Soekiman juga mengusulkan nama khusus untuk gaya seni fenomenal itu dengan nama gaya Indis.

Buku ini menambah satu lagi kepustakaan sejarah Indonesia. Meski penyajiannya kering, maklum dari disertasi, namun buku ini dilengkapi pula ilustrasi foto yang berguna untuk memahami paparannya. Secara khusus, buku ini menjadi pendalaman pada budaya tertentu di masa tertentu dari sejarah tanah Jawa yang secara garis besar dan menarik pernah dibahas oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya. Namun, berbeda dari Lombard yang hendak mengkaji seholistik mungkin, Soekiman lebih memperhatikan aspek benda-benda sebagai bentuk ekspresi dan jejak-jejak budaya Indis yang dimaksudnya."

Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966)
Hermawan Sulistyo
Kepustakaan Populer Gramedia
12/01/01

Palu Arit di Ladang Tebu
Pesantren, Pabrik Gula, dan Konflik Sosial

Kurniawan
detikcom - Jakarta Senin, 03/07/2000

Buku ini diterjemahkan dari disertasi Hermawan Sulistyo yang menyoroti pembantaian massal PKI di Jombang dan Kediri. Dengan menekankan pada konfrontasi lokal dan pengaruh politik nasional, secara rinci dia memaparkan mengapa terjadi pembantaian disana.

Setelah penculikan dan pembunuhan para jenderal pada 30 Sepetember 1965, dan konfrontasi langsung antara dua kelompok perwira Angkatan Darat dan pasukan masing-masing di ibukota, darah pun mulai menggenang. Tanah Jawa Tengah menjadi ladang pembantaian pertama lewat operasi militer yang dilancarkan tentara. Menyusul di kawasan-kawasan lain Jawa dan Bali.

Dalang

Aksi pembersihan tak sebatas pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI), tapi juga meluas ke anggota dan simpatisannya. Selanjutnya darah bertumpahan tak cuma disebabkan operasi militer, tapi juga konflik antarpenduduk di hampir seluruh Indonesia. Laporan resmi tim dari AD pada awal Desember 1965 menyebut bahwa korban terbunuh mencapai 78.000 orang. Jumlah sebenarnya masih perdebatan, berkisar antara 500 ribu hingga 600 ribu jiwa.

Namun, Orde Baru yang lahir setelah peristiwa tersebut telah membangun sebuah wacana sejarah yang cenderung menghapuskan fakta pada tahun 1965-1966 tersebut. Wacana yang berkembang kemudian menjadikan PKI sebagai hantu, "orang-orang jahat", dan mimpi paling menakutkan dalam sejarah republik.

Hermawan Sulistyo mengangkat kembali lembaran kelam dari sejarah republik ini ke dalam disertasinya di Arizona University, AS, The Forgotten Years: The Missing History of Indonesia's Mass Slaughter (Jombang-Kediri 1965-1966). Disertasinya ini kemudian diterjemahkan dan kemudian diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia dalam sebuah buku berjudul Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966).

Seperti ditulis pengarangnya, buku ini "tidak menyodorkan interpretasi baru atas Peristiwa Gestapu". Tapi, "studi ini berusaha melukiskan dan menganalisa berbagai ketegangan dan konflik sosial yang mendahului terjadinya pembunuhan pasca-Gestapu". Namun, Hermawan nampaknya menyadari bahwa mustahil membahas sebuah peristiwa dalam sejarah tanpa memetakan "dalang" di balik peristiwa itu.

Pada dua bab pertama, sepanjang 90 halaman, pengarang buku ini mencoba memetakan konstelasi politik secara umum sebelum terjadinya Gestapu. Khususnya pada bab kedua, di bawah judul "Historiografi Gestapu: Siapa Pelakunya?", pengarang menguraikan satu persatu tesis-tesis yang pernah ada mengenai dalang peristiwa tersebut. Sedikitnya, ada lima skenario yang selama ini diketahui mengenai sabab musabab peristiwa tersebut: PKI sebagai dalang, masalah internal Angkatan Darat, Soekarno sebagai orang yang paling bertanggung jawab, Soeharto sebagai dalang, dan intelejen (termasuk CIA).

Hermawan tak banyak melakukan penggalian yang lebih jauh pada kedua bab ini, kecuali mendaftar berbagai tulisan yang pernah terbit mengenai Gestapu beserta tafsirnya. Tak ada kesimpulan umum dari paparan ini, kecuali mengajukan berbagai sanggahan untuk setiap thesis dengan menunjukkan satu dua kelemahannya.

Ladang Tebu

Pada bab-bab berikutnya, sebuah panorama yang lebih nyata dan berdarah dipaparkan. Fokus utama dari buku ini adalah pada kasus pembantaian massal yang terjadi di Jombang dan Kediri. Hermawan berupaya memetakan konflik-konflik yang melatari peristiwa pembantaian massal di kedua daerah itu. Dia menemukan, ada banyak faktor yang melatarinya, dan yang pasti bahwa konflik politik nasional telah menjalar hingga pecah konflik fisik yang disertai kekerasan di tingkat lokal.

Lebih fokus lagi, Hermawan menyoroti bagaimana berdirinya pesantren dan pabrik gula di dua daerah itu secara historis telah mengubah peta sosial dan budaya di wilayah setempat. Berdirinya PG telah menumbuhkan semacam budaya sekuler di kalangan pegawai dan buruh yang bekerja disana.

Sementara di sisi lain, ada semacam misi suci dari kaum ulama Islam untuk berdakwah disana. Satu persatu pesantren kemudian berdiri di sekitarnya dan menciptakan budaya santri yang khas. Belakangan, pesantren-pesantren yang ada, lewat tradisi yang mereka pertahankan, berhasil memperkuat jaringan kekuatan Islam yang ada. Bahkan, mereka mampu mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama yang berkembang sebagai partai dan menjadi salah satu kekuatan politik utama hingga sekarang.

Antara pesantrean dan komunitas di PG tersebut saling berhubungan, sebagian menciptakan pola kerjasama, namun juga sebagian lagi mmembangun konfrontasi. "Orientasi kultural dan perilaku sosial menjadi identitas kelompok, dan persaingan politik bertumpang tindih dengan pemilahan kultural," tulis Hermawan.

Di lapisan permukaan, konfrontasi itu politik terjadi dalam bentuk persaingan antar partai politik yang berpuncak pada Pemilu 1955. Setelah pelarangan terhadap Masyumi pada 1960, praktis partai yang bermuka-muka adalah antara NU dan PKI. Hermawan menguraikan secara cukup rinci, bagaimana setahap demi setahap konflik yang ada berkembang jadi konflik terbuka hingga pecah pada penyerangan fisik.

Setelah pembunuhan para jenderal di Jakarta, kabar tersebut sampai ke Jombang dan Kediri dengan informasi yang sangat terbatas dan tidak berimbang. Aksi-aksi menentang PKI mulai muncul dan perlahan mulai mendekati titik didih, hingga akhirnya pecahlah pada pembantaian berdarah.

Pada bab V buku ini secara khusus memaparkan pola-pola pembunuhan yang terjadi. Baik jenis operasi-operasi yang dilakukan, maupun sisi-sisi politik, psikologi, dan pribadi dari para algojo. Bagian ini kaya dengan rincian kejadian, orang-orang yang terlibat, dan kronologi peristiwanya.

Pemenang yang Diam

Banyak karya tulis yang diterbitkan mengenai tragedi ini. Kebanyakan ditulis dari pihak yang kalah, yakni dari sudut para korban (dalam buku ini Hermawan misalnya menyebut dan sekaligus mengupas secara khusus buku Robert Cribb, The Indonesian Killing of 1965-1966, 1990). Sementara, para pemenang membuat sejarah versinya sendiri, misalnya berupa "buku putih" yang selama ini diterbitkan oleh tentara atau buku yang mendasarkan penulisannya pada pengakuan dari pihak tentara.

Hermawan, sebaliknya, mencoba mengungkapkan peristiwa itu dari sudut para pemenang yang justru tinggal diam. Mereka termasuk pula aktor utama yang terlibat dalam penumpasan PKI, yakni para algojo nontentara dan para pemimpin kelompok ronda. Mereka bukan elit, tapi sebagian punya pengaruh di tingkat lokal.

Selain itu, dai menunjukkan pula bahwa ada banyak aspek yang mendorong terjadinya pembantaian tersebut, dari amok hingga dendam tentara, dari konflik agama hingga konflik kelas, dari lemahnya integrasi nasional hingga tekanan ekonomi. Semuanya itu memberikan sumbangan yang bermakna hingga lahirnya pembantaian berdarah tersebut. (Kurniawan)

Student Indonesia di Eropa
Dr Abdul Rivai
Kepustakaan Populer Gramedia
2000

Student Indonesia di Eropa
KPG Terbitkan Kumpulan Karangan Doktor Pertama Indonesia

oleh Kurniawan

detikcom Rabu, 04/10/2000

Kepustakaan Populer Gramedia baru saja menerbitkan buku Student Indonesia di Eropa. Buku yang menghimpun karangan Dr Abdul Rivai di suratkabar Bintang Timoer ini mencatat pergulatan politik dan pemikiran mahasiswa Indonesia di Eropa sebelum Soempah Pemoeda.

"Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) baru saja menerbitkan buku Student Indonesia di Eropa. Buku setebal 383 halaman ini merupakan kumpulan karangan Dr Abdul Rivai yang pernah diterbitkan oleh media yang memuat artikel-artikelnya tersebut, suratkabar Bintang Timoer.

Rivai adalah doktor Indonesia pertama lulusan Universitas Gent, Belgia, lewat program doktoral tanpa disertasi dengan ujian terbuka pada tahun 1908. Rivai yang lulusan STOVIA ini kemudian menjadi redaktur suratkabar Bintang Timoer di Eropa.

Rivai adalah seorang saksi mata yang dengan cermat dan kritis mengungkapkan kehidupan mahasiswa Indonesia di Eropa. Dengan panjang lebar Rivai menguraikan suka duka mahasiswa Indonesia, selain dinamika politik Perhimpunan Indonesia yang melibatkan tokoh utama pergerakan seperti Mohammad Hatta. Karangan Rivai yang dihimpun dalam buku ini diambil dari laporannya antara November 1926 hingga Mei 1928.

"Selain menyegarkan ingatan kita tentang masa-masa awal pergerakan nasional, karya ini berguna juga sebagai acuan untuk mengenal lebih dekat kehidupan dan pergulatan para mahasiswa Indonesia di Eropa, terutama dalam pergerakan nasional melalui Perhimpunan Indonesia di Nederland," tulis sejarawan Prof Dr Teuku Ibrahim Alfian dalam pengantar buku ini.

E = mc2

Semua anak kecil tahu persamaan berikut: E = mc2 (baca: E sama dengan m kali c kuadrat). Dan tak ada yang tahu siapa yang membikin persamaan ini: Albert Einstein. Yang jadi pokok masalah adalah seberapa jauh orang memahami persamaan yang tampaknya demikian mudah ini?

Untunglah ada seorang David Bodanis yang mencoba mendongengkan kembali kisah persamaan paling terkenal di dunia ini dalam bukunya, "E = mc2: A Biography of the World's Most Famous Equation" (Walker & Co, 2000). David Bodanis telah mengajar bertahun-tahun di dalam penelitian sejarah intelektual di Universitas Oxford.

"Kaum Victorian," tulis Bodanis,"telah berpikir bahwa mereka telah menemukan semua sumber-sumber energi yang mungkin ada: energi kimia, energi panas, energi magnetik, dan lainnya. Tapi, sekitar 1905, Einstein bilang, Tidak, ada tempat lain yang dapat Anda lihat di mana Anda tak akan menemukannya lagi. Persamaannya seperti sebuah teleskop yang menggiring kita ke sana, tapi tempat tersembunyi itu tidaklah jauh di angkasa luar sana. Dia ada di bawah sini --dia ada di sini di depan para pendahulunya. Dia menemukan wadah sumber energi ini dalam satu tempat di mana tak seorang pun berpikir untuk mencarinya. Dia tersembunyi selamanya dalam materi padat itu sendiri."

Dalam periode hanya beberapa bulan saja, Einstein menerbitkan dua kertas kerja ilmiah yang mengubah cara kita memandang alam sekeliling kita. Yang pertama memuat teori relativitasnya yang dikenal sebagai "relativitas khusus" dan kedua sebuah tambahan pendek yang menjelaskan apa yang kita sebut sebagai "kesimpulan yang sangat menarik". Kesimpulan itu adalah E=mc2. (One)

Dunia Arab

Philip K. Hitti, orientalis keturunan Libanon itu, diakui kepakarannya di bidang sejarah dan kesasatraan Arab. Dengan posisi demikian, Hitti pernah mengepalai Department of Oriental Studies di Univsersitas Princeton, AS.

Sumbangan terbesar Hitti dalam studi dunia Arab adalah diterbitkannya "History of the Arabs" pada tahun 1943. Dari buku inilah kemudian disarikan jadi sebuah buku ringkas sejarah Arab, "The Arabs, A Short History", yang untuk pertama kalinya pernah diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia pada tahun 1970 oleh Penerbit Sumur, Bandung. Kini, Pustaka Iqra menerbitkan kembali buku Hitti ini dengan tajuk "Sejarah Ringkas Dunia Arab" (Pustaka Iqra, 2001)

Hitti adalah orientalis yang punya kekaguman terhadap kebudayaan Arab dan Islam. Dengan mudah hal ini bisa pembaca temukan bila membaca bagaimana Hitti memaparkan perkembangan peradaban Arab dan sumbangannya terhadap peradaban Barat.

Hitti melukiskan bagaimana masyarakat yang memiliki peradaban yang sangat kaya, para pemimpinnya tengah mempelajari filsafat Yunani, pada saat bersamaan Charlemagne dan para penasehatnya di Eropa tengah mencoba belajar menulis sendiri namanya. Pada saat demikian, masyarakat Arab justru menyelamatkan harta karun seni dan filsafat Yunani Kuno dan Persia dan mengembangkan standar-standar dalam ilmu kedokteran, biologi, filsafat, arsitektur, pertanian, dan bidang-bidang lain yang tak terduga sebelumnya. Prestasi ini menyebar ke Eropa melalui Spanyol dan Sisilia dan jadi faktor utama yang menyulut lahirnya rennaisance di Eropa.(One)

Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680
Anthony Reid
Obor Indonesia
1999
9794611077

Ekspansi Hingga Krisis
Wajah Asia Tenggara Sebelum Kolonialisme

Kurniawan

detikcom Rabu, 02/08/2000

Buku ini merupakan jilid kedua tentang sejarah perdagangan Asia Tenggara. Jilid pertamanya bertajuk Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680: The Lands Below the Winds.

"Anthony JS Reid adalah professor pada Division of Pacific and Asian History, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University. Sebagai sejarawan, dia dikenal intens mendalami sejarah ekonomi pada Asia Tenggara. Buku Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 ini adalah terjemahan dari Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680: Expansion and Crisis. Buku ini merupakan jilid kedua tentang sejarah perdagangan Asia Tenggara. Jilid pertamanya bertajuk Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680: The Lands Below the Winds.

Pada buku yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia ini, Reid mengeksplorasi kehidupan sehari-hari beragam masyarakat Asia Tenggara di bawah pengaruh tradisi perdagangan dunia. Dalam bukunya ini, Reid memaparkan perihal masalah dan pergeseran yang berkembang di wilayah ini sebagai perkawinan lokal dan dunia yang lebih luas. Bagaimana perkawinan tersebut mewarnai jatuh bangunnya kehidupan kota dagang, aspek keberagamaan, proses ekonomi, dan perubahan politik." (one)

No comments:


Free shoutbox @ ShoutMix
 
Google